Dalam sebuah acara reuni, beberapa alumni menjumpai guru sekolah mereka dulu.
Mereka menceritakan kisah sukses masing-masing...
Ada yang menjadi direktur BUMN, ada yang menjadi direktur Bank, ada yg menjadi pengusaha sukses, dokter, arsitek, pengacara, konsultan, dll.
Melihat para alumni tersebut ramai-ramai membicarakan kesuksesan mereka, guru tersebut segera ke dapur kemudian mengambil seteko kopi panas dan beberapa cangkir kopi yang berbeda-beda. Mulai dari cangkir yang terbuat dari kristal, kaca, melamin dan plastik.
“Sudah, sudah.. Ngobrolnya berhenti dulu. Ini Bapak sudah siapkan kopi buat kalian,” seru sang guru memecah keasyikan obrolan mereka.
Hampir serempak, mereka kemudian berebut cangkir terbaik yang bisa mereka dapat.
Akhirnya, di meja yang tersisa hanya satu buah cangkir plastik yang paling jelek.
Lantas, setelah semua mendapatkan cangkirnya, sang guru pun mulai menuangi cangkir itu dengan kopi panas dari teko yang telah disiapkannya.
“Mari, silakan diminum,” ajak sang guru, yang kemudian ikut mengisi kopi dan meminum dari cangkir terakhir yang paling jelek.
“Bagaimana rasanya? Nikmat kan? Ini dari kopi hasil kebun keluarga saya sendiri.”
“Wah, enak sekali Pak.. Ini kopi paling sedap yang pernah saya minum,” timpal salah satu murid yang langsung diiyakan oleh teman yang lain.
“Nah, kopinya enak ya? Tapi, apakah kalian tadi memperhatikan. Kalian hampir saja berebut untuk memilih cangkir yang paling bagus hingga hanya menyisakan satu cangkir paling jelek ini?” tanya sang guru.
Murid-murid itu pun saling berpandangan.
"Perhatikanlah, bahwa kalian semua memilih cangkir yg bagus dan kini yg tersisa hanyalah cangkir yg murah dan tidak menarik.
Memilih hal yg terbaik adalah wajar dan manusiawi. Namun persoalannya, ketika kalian tidak mendapatkan cangkir yg bagus perasaan kalian mulai terganggu.
Kalian secara otomatis melihat cangkir yg dipegang orang lain dan mulai membandingkannya.
Pikiran kalian terfokus pada cangkir, padahal yg kalian nikmati bukanlah cangkirnya melainkan kopinya.
Hidup kita, baik kehidupan dunia maupun kehidupan ibadah, seperti kopi dalam analogi tersebut, sedangkan cangkirnya adalah sarana, pekerjaan, jabatan, atau harta benda yg kita miliki."
Semua alumni tertegun mendengar penjelasan dari sang guru.
Penjelasan dari sang guru telah menyentak kesadaran mereka.
"Anak-anakku tercinta..."
lanjut sang guru.
"Jangan pernah membiarkan cangkir mempengaruhi kopi yg kita nikmati.
Cangkir bukanlah yg utama, kualitas kopi itulah yg terpenting.
Jangan berpikir bahwa kekayaan yg melimpah, sarana yg mewah, karier yg bagus dan pekerjaan yg mapan merupakan jaminan kebahagian hidup dan kenikmatan dalam beribadah.
Itu konsep yg sangat keliru.
Kualitas hidup dan ibadah kita ditentukan oleh "Apa yg ada di dalam" bukan "Apa yg kelihatan dari luar."
Status, pangkat, kedudukan, jabatan, kekayaan, kesuksesan, popularitas, adalah sebuah predikat yang disandang.
Tak salah jika kita mengejarnya.
Tak salah pula bila kita ingin memilikinya.
Namun, semua itu hanya sarana.
Sarana hanya bermanfaat apabila bisa mengantarkan kita pada tujuan.
Apa gunanya memiliki segala sarana, namun tidak pernah merasakan kedamaian, ketenteraman, ketenangan, dan kebahagian sejati di dalam kehidupan kita?
Itu sangat menyedihkan.
Karena hal itu sama seperti kita menikmati kopi kualitas buruk yg disajikan di sebuah cangkir kristal yg mewah dan mahal..."
Kunci menikmati kopi bukanlah seberapa bagus cangkirnya, tetapi seberapa bagus kualitas kopinya..."
***
Selamat menikmati secangkir kopi kehidupan...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
komentar yang sopan dan singkat